Senin, 04 November 2013

MAKALAH TAFSIR MEMBUAT TAFSIR TAHLILI, MA’TSUR DAN MUFASIR



MAKALAH TAFSIR

MEMBUAT TAFSIR TAHLILI, MA’TSUR DAN MUFASIR

 












Disusun Oleh :
ASIA ASTUTI (12222013)

Dosen pembimbing :
NAZAR MANTO, M.A




JURUSAN TADRIS BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2013

A.  TAFSIR TAHLILI
Kata “tahlili” berasal dari bahasa Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti menguraikan atau menganalisa  jadi Tafsir Tahlili (analitis) atau yang juga disebut dengan tafsir tajzi’i merupakan suatu metode yang bermaksud  menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat Alqur'an dari seluruh sisinya, sesuai dengan urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam tafsir ini ayat ditafsirkan secara komprehensif dan menyeluruh baik dengan corak ma’tsur maupun ra’yi. Unsur-unsur yang dipertimbangkan adalah asbabun nuzul, munasabah ayat dan juga makna harfiyah setiap kata.
Dalam makalah ini saya mengambil ayat tentang puasa yang akan di tafsirkan ke dalam tafsir tahlili :
Membicarakan tentang kewajiban puasa tentu tidak terlepas dari firman Allah swt. Diantaranya pada Q.S al-Baqarah : 183-184 :
183
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ    مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa(183). (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)membayar fidyah, (yaitu) memberimakan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(184)

v  Makna mufrodat
الذين :  wahai orang-orang, huruf ya’ disini merupakan huruf nida’ yang berarti seruan kepada orang banyak.
امنوا : orang-orang yang beriman, lafadz ini sebagai na’at dari pada lafadz الذين, sehingga seruan ini dikhususkan kepada orang yang beriman saja baik laki-laki atau perempuan.
كتب   :  diwajibkan atau ditetapkan.
عليكم : atas kamu sekalian (umat Islam), dlomir kum disini kembali pada lafadz امنوا الذين. Lafadz ini juga sebagai pelaku dari lafadz kutiba.
الصيام:  puasa, menahan dari melakukan sesuatu.
كما كتب على الذين من قبلكم: seperti halnya diwajibkan kepada umat sebelum kamu(umat Muhammad), yaitu umatnya nabi-nabi terdahulu mulai nabi Adam as. Huruf kaf merupakan tasybih atas hukum dan sifat puasa yang wajib bukan pada bilangannya, namun ada pula yag berpendapat penyerupaan ini pada bilangannya, pendapat yang kedua ini pun menimbulkan kontroversi, ada yang berpendapat bahwa kalimat ini dihapus dengan ayat 185 dan ada yang mengatakan bahwa kalimat ini tidak dihapus dan ayat ini adalah ayat muhkamat.
لعلكم تتقون        : puasa sebagai jalan menuju takwa.
أياماً معدودات     :hari yang ditentukan, lafadz أياماberkedudukan sebagai dlorof sehingga dibaca nashob sedangkan amilnya yaitu shiyam, jika diperlihatkan menjadi كتب عليكم الصيام في هذه الأيام. Hal ini pun ada 3 pendapat, bahwa hari itu adalah 3 hari dalam setiap bulan, ada pula yang 3 hari tersebut ditambah dengan bulan asyura dan yang lebih shohih adalah hari itu pada waktu bulan ramadhan.
فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة: kewajiban puasa diatas tidak belaku bagi orang yang sakit dan safar, lafadz ini menunjukkan kebolehan untuk berbuka bagi mereka. Lafadz عدة menurut ar-raghib adalah sesuatu yang berbilang. Menurut qurthubi adalahعدة adalah fiil dari عد yang berarti ma’dud atau bilangan.
مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ :   hari-hari lain yang sama bilangannya dengan hari ketika sakit atau safar. أُخَر adalah jama’ dari ukhra, أي أياماً أخرى menurut alkisai hal ini tercegah dari perubahan karena jika demikian menunjukkan pada ma’na akhar sedangkan menurut sibawaih jika dijama’kan harus adanya penambahan alif dan lam.
وعلى الذين يطيقونه :dan bagi orang yang melakukan hal diatas, يطيقونه berarti orang yang jika berpuasa dapat menimbulkan bahaya dan kesuliatan baginya.
فِدْيَةٌ       :     memberikan sesuatu harta benda atau yang semisalnya (makanan) kepada manusia sebab meringkas atau mengganti ibadah yang telah ditinggalkannya, hal ini serupa dengan kafarat.
طعامُ مسكين :   makanan kepada orang miskin, mengenai qira’ah untuk kalimat ini dibawah akan kami jelaskan.
ً فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًافَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ : menurut ibnu Abbas kalimat tersebut berarti seseorang yang telah memberi makan orang miskin, menurut thowus yaitu orang yang rela memberi makan orang miskin dan menurut mujahid adalah banyaknya orang miskin yang diberi maka memberi tambahan kebaikan kepada si pemberi.
وَأَن تَصُومُواْ :  dan berpuasa bagi orang-orang yang mampu, dlomir disini tidak kembali kepada orang-orang yang sakit, safar, hamil, menyusui dan orang yang renta. Karena bagi mereka berbuka itu lebih baik dari pada berpuasa.
خَيْرٌ لَّكُمْ         lebih baik dari pada membayar fidyah dan melaksanakan kebajikan.
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ : jika kamu mengetahui (keutamaan puasa dan segala kebaikan yang menyertainya), yang termasuk dalam lafadz ini adalah ahlul ilmi yang mau memikirkan keutamaannya. Sedangkan jawab dari lafadz ini dibuang, hal ini menunjukkan pada lafadz sebelumnya yaitu boleh memilih antara puasa atau tidak.

v  Asbabun Nuzul
Dijelaskan  oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dari Mujahid, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qais bin Saib (yang sudah sangat lanjut usianya), Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin (Q.S. Al-Baqarah 184). Lalu ia tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin setiap hari Ramadan yang tidak dipuasainya."
Ada lagi yang menyebutkan sebab turunnya sebagai berikut:
روى ابن جرير عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنه قال : « إنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فصام يوم عاشوراء ، وثلاثة أيام من كل شهر » ، ثم إن الله عز وجل فرض شهر رمضان ، فأنزل الله تعالى ذكره { ياأيها الذين آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصيام } حتى بلغ { وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ } فكان من شاء صام ، ومن شاء أفطر وأطعم مسكيناً ، ثم إن الله عز وجل أوجب الصيام على الصحيح المقيم ، وثبت الإطعام للكبير الذي لا يستطيع الصوم ، فأنزل الله عز وجل { فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ . . . } .
Dari Ibnu Jarir dari mu’adz bin jabbal berkata : bahwa Rasulullah SAW.datang ke Madinah pada hari ‘Asyura kemudian beliau berpuasa, dan beliau berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadlan, dengan menurunkan QS.Al-Baqarah 183-184 (وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ), maka saat itu ada yang berkeinginan untuk berpuasa, ada yang berbuka dan ada yang memilih untuk memberi makan orang miskin. Kemudian Allah mewajibkan puasa bagi orang yang sehat lagi muqim ( tidak bepergian) dan menetapkan kriteria bagi yang memberi makan orang miskin yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu untuk berpuasa, dengan menurunkan ayat
فَمَن شَهِدَ مِنكُم الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ . .
Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah ta’ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan .
Lalu Dia memberikan alasan diwajibkannya puasa tersebut dengan menjelaskan manfaatnya yang besar dan hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah, yakni dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang dibolehkan, semata-mata untuk menta’ati perintah Allah dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. Agar orang beriman termasuk mereka yang bertakwa kepada Allah, ta’at kepada semua petintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan dan segala yang diharamkan-Nya.
Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka Dia memberitahukan bahwa puasa tersebut pada hari-hari tertentu atau dalam jumlah yang relatif sedikit dan mudah. Di antara kemudahannya yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, di mana seluruh umat Islam melakukannya. karena biasanya berat, maka Allah memberikan keringanan kepada mereka berdua untuk tidak berpuasa. Dan agar hamba mendapatkan kemaslahatan puasa, maka Alla memerintahkan mereka berdua agar menggantinya pada hari-hari lain. Yakni ketika ia sembuh dari sakit atau tak lagi melakukan perjalanan. Dan sedang dalam keadaan luang. Maksudnya seorang boleh tidak berpuasa ketika sedang sakit atau dalam keadaan bepergian, karena hal itu berat baginya. Maka ia dibolehkan berbuka dan mengqadha’nya sesuai dengan bilangan hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari lain.
Adapun orang sehat dan mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak kuat) menjalankan puasa, maka ia boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan orang miskin. Ia boleh berpuasa, boleh pula dengan syarat memberi makan kepada orang miskin untuk setip hari yang ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin untuk setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka puasa lebih utama daripada memberi makanan.

v  Sejarah Turunnya Perintah Shaum (puasa) Ramadhan
Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali. Ibnul Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1.      Kewajibannya yang bersifat takhyir (pilihan).
2.       Kewajiban secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3.      Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya.
Tahapan awal berdasarkan firman Allah Ta'ala :
184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya : ”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
     Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata :“Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”
Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata :“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.”
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُsebagaimana pendapat jumhur ulama. Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :“Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata :“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”. Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.



B.  TAFSIR MA’TSUR
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti penjelasan atau keterangan. Sedang al-ma’tsur berasal dari akar kata atsara yang berarti mengutip. Sedangkan menurut pengertian terminologi tafsir bil ma’tsur ialah sebagai rangkaian keterangan yang terdapat dalam Alquran, sunah atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan terhadap firmanAllah.
Dalam tafsir ini saya mengutip atau menafsirkan ayat al-quran dan hadist.
·         Q.S al-Baqarah : 183
(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa) Artinya diwajibkan atas kamu berpuasa dari segala sesuatu yang kamu harus menahannya. Ini adalah puasa menurut pengertian bahasa. Adapun puasa menurut pengertian syara' adalah:  menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa pada waktu tertentu.
·         al- hadist :
Nabi muhammad s.a.w telah bersabda : 
إن الله تبارك وتعالى يقول
كل عمل ابن ادم له إلا الصيام فإنه لى ....... 
"Allah berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku....” (Bukhari 3/24, Muslim 5/122, Nasa'i 4/59).

C.     TAFSIR MUFASIR
Tafsir mufasir adalah orang yang menafsirkan atau yang menjelaskan ayat.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S AL-BAQARAH AYAT 183).
Dalam ayat diatas Muhammad Ali Ash-Shobuny menerangkan ayat di atas bahwa berpuasa itu diwajibkan pada bulan Ramadhan sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kita agar kita bertakwa, yaitu menjadi orang yang bertakwa kepada Allah dengan menjauhi apa yang diharamkan-Nya.  Dan Imam Mawardi juga menjelaskan ayat tersebut dalam kitab tafsirnya bahwa:
1.      (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa) Artinya diwajibkan atas kamu berpuasa dari segala sesuatu yang kamu harus menahannya. Ini adalah puasa menurut pengertian bahasa. Adapun puasa menurut pengertian syara' adalah: menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa pada waktu tertentu.
Nabi bersabda, 
إن الله تبارك وتعالى يقول :
كل عمل ابن ادم له إلا الصيام فإنه لى ....... 
"Allah berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku....” (Bukhari 3/24, Muslim 5/122, Nasa'i 4/59). Imam Mawardi menjelaskan dua alasan mengapa puasa itu tampak khusus dibanding ibadah lain:
a. Puasa itu mencegah kepura-puraan diri berikut nafsu yang
       menyertainya.
b. Puasa itu merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya yang tidak ditampakkan kecuali untuk Tuhannya.
Inilah yang menyebabkan puasa menjadi sangat khusus dibandingkan dengan ibadah lainnya.
2.      (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu ) Imam Mawardi menyebutkan tiga pendapat berkenaan dengan siapa yang dimaksud dengan "orang-orang sebelum kamu" :
a. Asy-Syu'bi, Ar-Rabi' dan Asbat mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nashrani 
b. Mujahid berpendapat bahwa mereka itu adalah Ahlul Kitab 
c. Qatadah mengatakan bahwa mereka itu adalah manusia secara umum.
3.      (agar kamu bertakwa)
Potongan ayat ini juga mengandung dua pendapat:
a. agar kamu bertakwa dari apa yang diharamkan dalam berpuasa seperti makan, minum, berhubungan intim dengan isteri. Pendapat ini dipegang oleh Abu Ja'far at-Thabari.
b. maknanya adalah puasa itu menjadi sebab yang mengembalikan kita pada takwa dengan jalan menundukkan jiwa, mengurangi nafsu dan menghilangkan kejelekan. Ini pendapat yang dikeluarkan oleh az-Zujaj.
 



























DAFTAR PUSTAKA


Al- baghawi, Abu Muhammad al-Hasan bin Mas`ud. Mualim at-Tanzil. (Dar-at-Tayyibah,1997.Juz 8.cetakan ke-4.
 Al- baidhowi, Nashir al-Din Abu Said `Abdullah bin Umar bin Muhammad as-Sairazi. Anwar At-tanzil wa asr Ar at-ta`wi Al-ma`ruf. Mawaqi` at-Tafasir 
http://ngajiislam.com/2009/09/tafsir-ayat-puasa.html#sthash.avwgMu44.dpuf, Diakses pada hari jum’at, tanggal 28 juni 2013, pada pukul 19:12 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar