MAKALAH TAFSIR
MEMBUAT TAFSIR TAHLILI, MA’TSUR
DAN MUFASIR
Disusun Oleh :
ASIA
ASTUTI (12222013)
Dosen
pembimbing :
NAZAR MANTO, M.A
JURUSAN TADRIS
BIOLOGI
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2013
A. TAFSIR TAHLILI
Kata “tahlili” berasal dari bahasa
Arab yakni “hallala-yuhallilu” yang berarti
menguraikan atau menganalisa jadi Tafsir Tahlili
(analitis) atau yang juga disebut dengan tafsir tajzi’i merupakan suatu
metode yang bermaksud menjelaskan dan
menguraikan kandungan ayat-ayat Alqur'an dari seluruh sisinya, sesuai dengan
urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam tafsir ini ayat ditafsirkan secara
komprehensif dan menyeluruh baik dengan corak ma’tsur maupun ra’yi. Unsur-unsur yang
dipertimbangkan adalah asbabun nuzul, munasabah ayat dan juga makna harfiyah
setiap kata.
Dalam
makalah ini saya mengambil ayat tentang puasa yang akan di tafsirkan ke dalam
tafsir tahlili :
Membicarakan
tentang kewajiban puasa tentu tidak terlepas dari firman Allah swt. Diantaranya
pada Q.S al-Baqarah : 183-184 :
|
183
|
|
184
|
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa(183). (yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)membayar fidyah, (yaitu)
memberimakan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.(184)
v
Makna
mufrodat
الذين : wahai orang-orang, huruf ya’ disini merupakan huruf nida’ yang berarti
seruan kepada orang banyak.
امنوا :
orang-orang yang beriman, lafadz ini sebagai na’at dari pada lafadz الذين,
sehingga seruan ini dikhususkan kepada orang yang beriman saja baik laki-laki
atau perempuan.
كتب : diwajibkan atau ditetapkan.
عليكم : atas
kamu sekalian (umat Islam), dlomir kum disini kembali pada lafadz امنوا الذين.
Lafadz ini juga sebagai pelaku dari lafadz kutiba.
الصيام: puasa, menahan dari melakukan
sesuatu.
كما كتب على الذين من قبلكم: seperti halnya diwajibkan kepada umat sebelum kamu(umat
Muhammad), yaitu umatnya nabi-nabi terdahulu mulai nabi Adam as. Huruf kaf
merupakan tasybih atas hukum dan sifat puasa yang wajib bukan pada bilangannya,
namun ada pula yag berpendapat penyerupaan ini pada bilangannya, pendapat yang
kedua ini pun menimbulkan kontroversi, ada yang berpendapat bahwa kalimat ini
dihapus dengan ayat 185 dan ada yang mengatakan bahwa kalimat ini tidak dihapus
dan ayat ini adalah ayat muhkamat.
لعلكم تتقون : puasa
sebagai jalan menuju takwa.
أياماً معدودات :hari yang ditentukan,
lafadz أياماberkedudukan sebagai dlorof sehingga dibaca nashob
sedangkan amilnya yaitu shiyam, jika diperlihatkan menjadi كتب عليكم الصيام في هذه الأيام. Hal ini pun ada 3 pendapat, bahwa hari itu adalah 3 hari dalam
setiap bulan, ada pula yang 3 hari tersebut ditambah dengan bulan asyura dan
yang lebih shohih adalah hari itu pada waktu bulan ramadhan.
فمن كان منكم مريضاً أو على سفر
فعدة: kewajiban puasa diatas
tidak belaku bagi orang yang sakit dan safar, lafadz ini menunjukkan kebolehan
untuk berbuka bagi mereka. Lafadz عدة menurut ar-raghib adalah sesuatu
yang berbilang. Menurut qurthubi adalahعدة adalah fiil dari عد yang berarti ma’dud atau bilangan.
مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ : hari-hari lain yang sama
bilangannya dengan hari ketika sakit atau safar. أُخَر adalah jama’ dari ukhra, أي أياماً أخرى menurut alkisai hal ini tercegah
dari perubahan karena jika demikian menunjukkan pada ma’na akhar sedangkan
menurut sibawaih jika dijama’kan harus adanya penambahan alif dan lam.
وعلى الذين يطيقونه :dan bagi orang yang melakukan hal diatas, يطيقونه berarti orang yang jika berpuasa dapat menimbulkan bahaya dan kesuliatan
baginya.
فِدْيَةٌ : memberikan sesuatu harta benda atau yang semisalnya
(makanan) kepada manusia sebab meringkas atau mengganti ibadah yang telah
ditinggalkannya, hal ini serupa dengan kafarat.
طعامُ مسكين : makanan kepada orang
miskin, mengenai qira’ah untuk kalimat ini dibawah akan kami jelaskan.
ً فَمَن تَطَوَّعَ
خَيْرًافَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ : menurut ibnu Abbas kalimat tersebut berarti
seseorang yang telah memberi makan orang miskin, menurut thowus yaitu orang
yang rela memberi makan orang miskin dan menurut mujahid adalah banyaknya orang
miskin yang diberi maka memberi tambahan kebaikan kepada si pemberi.
وَأَن تَصُومُواْ : dan berpuasa bagi
orang-orang yang mampu, dlomir disini tidak kembali kepada orang-orang yang
sakit, safar, hamil, menyusui dan orang yang renta. Karena bagi mereka berbuka
itu lebih baik dari pada berpuasa.
خَيْرٌ لَّكُمْ : lebih baik dari pada membayar
fidyah dan melaksanakan kebajikan.
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ : jika kamu
mengetahui (keutamaan puasa dan segala kebaikan yang menyertainya), yang
termasuk dalam lafadz ini adalah ahlul ilmi yang mau memikirkan keutamaannya.
Sedangkan jawab dari lafadz ini dibuang, hal ini menunjukkan pada lafadz
sebelumnya yaitu boleh memilih antara puasa atau tidak.
v Asbabun Nuzul
Dijelaskan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dari
Mujahid, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qais bin Saib
(yang sudah sangat lanjut usianya), Dan bagi orang yang berat menjalankannya,
wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin (Q.S. Al-Baqarah 184).
Lalu ia tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin setiap hari Ramadan
yang tidak dipuasainya."
Ada
lagi yang menyebutkan sebab turunnya sebagai berikut:
روى ابن جرير عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنه قال : «
إنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فصام يوم عاشوراء ، وثلاثة أيام من
كل شهر » ، ثم إن الله عز وجل فرض شهر رمضان ، فأنزل الله تعالى ذكره { ياأيها
الذين آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصيام } حتى بلغ { وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ } فكان من شاء صام ، ومن شاء أفطر وأطعم مسكيناً ، ثم
إن الله عز وجل أوجب الصيام على الصحيح المقيم ، وثبت الإطعام للكبير الذي لا
يستطيع الصوم ، فأنزل الله عز وجل { فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
. . . } .
Dari Ibnu Jarir dari mu’adz bin jabbal berkata : bahwa Rasulullah SAW.datang
ke Madinah pada hari ‘Asyura kemudian beliau berpuasa, dan beliau berpuasa
selama tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadlan, dengan
menurunkan QS.Al-Baqarah 183-184 (وَعَلَى
الذين يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ), maka saat itu ada yang berkeinginan untuk berpuasa,
ada yang berbuka dan ada yang memilih untuk memberi makan orang miskin.
Kemudian Allah mewajibkan puasa bagi orang yang sehat lagi muqim ( tidak
bepergian) dan menetapkan kriteria bagi yang memberi makan orang miskin yaitu
orang yang sudah tua dan tidak mampu untuk berpuasa, dengan menurunkan ayat
فَمَن
شَهِدَ مِنكُم الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ . .
Allah berfirman yang
ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka
agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat
ikhlas karena Allah ta’ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan
pembersihan jiwa. Juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan
akhlak yang rendah.
Allah menyebutkan, di
samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas
orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan.
Maka hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna
dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan .
Lalu Dia memberikan alasan
diwajibkannya puasa tersebut dengan menjelaskan manfaatnya yang besar dan
hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk
bertaqwa kepada Allah, yakni dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang
dibolehkan, semata-mata untuk menta’ati perintah Allah dan mengharapkan pahala
di sisi-Nya. Agar orang beriman termasuk mereka yang bertakwa kepada Allah,
ta’at kepada semua petintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan dan segala
yang diharamkan-Nya.
Ketika Allah menyebutkan
bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka Dia memberitahukan bahwa puasa
tersebut pada hari-hari tertentu atau dalam jumlah yang relatif sedikit dan
mudah. Di antara kemudahannya yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, di mana
seluruh umat Islam melakukannya. karena biasanya berat, maka Allah memberikan
keringanan kepada mereka berdua untuk tidak berpuasa. Dan agar hamba
mendapatkan kemaslahatan puasa, maka Alla memerintahkan mereka berdua agar
menggantinya pada hari-hari lain. Yakni ketika ia sembuh dari sakit atau tak
lagi melakukan perjalanan. Dan sedang dalam keadaan luang. Maksudnya seorang boleh tidak berpuasa ketika sedang
sakit atau dalam keadaan bepergian, karena hal itu berat baginya. Maka ia
dibolehkan berbuka dan mengqadha’nya sesuai dengan bilangan hari yang
ditinggalkannya, pada hari-hari lain.
Adapun orang sehat dan
mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak kuat) menjalankan puasa, maka ia
boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan orang miskin. Ia boleh
berpuasa, boleh pula dengan syarat memberi makan kepada orang miskin untuk
setip hari yang ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang
miskin untuk setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka
puasa lebih utama daripada memberi makanan.
v Sejarah Turunnya Perintah Shaum (puasa) Ramadhan
Awal
turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua
Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan
kali. Ibnul Qayyim
mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga
tahapan :
1.
Kewajibannya yang bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban secara Qath’i (mutlak), akan tetapi
jika seorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan
baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan terakhir, yaitu yang
berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus)
hukum sebelumnya.
Tahapan awal berdasarkan
firman Allah Ta'ala :
|
184
|
Artinya : ”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata :“Adapun
orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan
ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah.
Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan
memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih
dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”
Ibnu
‘Umar radiyallahu 'anhuma ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan
: “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.
Dan
atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata
:“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan
berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang
memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.”
Secara
dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh
(dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُsebagaimana pendapat jumhur ulama.
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata
:“Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua
(laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin
untuk setiap harinya.”
Al-Hafizh
Ibnu Katsir
berkata :“Kesimpulan
bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat
lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman
Allah فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun
orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk
berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”. Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang
bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan
baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
B. TAFSIR MA’TSUR
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal
dari akar kata al-fasr yang berarti penjelasan atau keterangan. Sedang
al-ma’tsur berasal dari akar kata atsara yang berarti mengutip. Sedangkan
menurut pengertian terminologi tafsir bil ma’tsur ialah sebagai rangkaian
keterangan yang terdapat dalam Alquran, sunah atau kata-kata sahabat sebagai
penjelasan terhadap firmanAllah.
Dalam tafsir ini saya mengutip atau menafsirkan
ayat al-quran dan hadist.
·
Q.S al-Baqarah : 183
(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa)
Artinya diwajibkan atas kamu berpuasa dari segala sesuatu yang kamu harus
menahannya. Ini adalah puasa menurut pengertian bahasa. Adapun puasa menurut
pengertian syara' adalah: menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa pada waktu tertentu.
·
al- hadist :
Nabi muhammad s.a.w telah bersabda :
إن الله تبارك وتعالى يقول
كل عمل ابن ادم له إلا الصيام فإنه لى .......
"Allah berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku....” (Bukhari 3/24, Muslim 5/122, Nasa'i 4/59).
إن الله تبارك وتعالى يقول
كل عمل ابن ادم له إلا الصيام فإنه لى .......
"Allah berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku....” (Bukhari 3/24, Muslim 5/122, Nasa'i 4/59).
C. TAFSIR MUFASIR
Tafsir
mufasir adalah orang yang menafsirkan atau yang menjelaskan ayat.
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S AL-BAQARAH AYAT
183).
Dalam ayat diatas Muhammad Ali Ash-Shobuny menerangkan ayat di atas bahwa berpuasa itu diwajibkan pada bulan Ramadhan sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kita agar kita bertakwa, yaitu menjadi orang yang bertakwa kepada Allah dengan menjauhi apa yang diharamkan-Nya. Dan Imam Mawardi juga menjelaskan ayat tersebut dalam kitab tafsirnya bahwa:
Dalam ayat diatas Muhammad Ali Ash-Shobuny menerangkan ayat di atas bahwa berpuasa itu diwajibkan pada bulan Ramadhan sebagaimana telah diwajibkan atas umat-umat sebelum kita agar kita bertakwa, yaitu menjadi orang yang bertakwa kepada Allah dengan menjauhi apa yang diharamkan-Nya. Dan Imam Mawardi juga menjelaskan ayat tersebut dalam kitab tafsirnya bahwa:
1. (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa) Artinya diwajibkan atas kamu berpuasa dari segala sesuatu yang
kamu harus menahannya. Ini adalah puasa menurut pengertian bahasa. Adapun puasa
menurut pengertian syara' adalah: menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa
pada waktu tertentu.
Nabi bersabda,
إن الله تبارك وتعالى يقول :
كل عمل ابن ادم له إلا الصيام فإنه لى .......
"Allah berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku....” (Bukhari 3/24, Muslim 5/122, Nasa'i 4/59). Imam Mawardi menjelaskan dua alasan mengapa puasa itu tampak khusus dibanding ibadah lain:
a. Puasa itu mencegah kepura-puraan diri berikut nafsu yang menyertainya.
b. Puasa itu merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya yang tidak ditampakkan kecuali untuk Tuhannya.
Inilah yang menyebabkan puasa menjadi sangat khusus dibandingkan dengan ibadah lainnya.
Nabi bersabda,
إن الله تبارك وتعالى يقول :
كل عمل ابن ادم له إلا الصيام فإنه لى .......
"Allah berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk mereka sendiri sedangkan puasa itu untuk-Ku....” (Bukhari 3/24, Muslim 5/122, Nasa'i 4/59). Imam Mawardi menjelaskan dua alasan mengapa puasa itu tampak khusus dibanding ibadah lain:
a. Puasa itu mencegah kepura-puraan diri berikut nafsu yang menyertainya.
b. Puasa itu merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya yang tidak ditampakkan kecuali untuk Tuhannya.
Inilah yang menyebabkan puasa menjadi sangat khusus dibandingkan dengan ibadah lainnya.
2. (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu ) Imam Mawardi menyebutkan tiga pendapat berkenaan dengan siapa
yang dimaksud dengan "orang-orang sebelum kamu" :
a. Asy-Syu'bi, Ar-Rabi' dan Asbat mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nashrani
b. Mujahid berpendapat bahwa mereka itu adalah Ahlul Kitab
c. Qatadah mengatakan bahwa mereka itu adalah manusia secara umum.
a. Asy-Syu'bi, Ar-Rabi' dan Asbat mengatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang Nashrani
b. Mujahid berpendapat bahwa mereka itu adalah Ahlul Kitab
c. Qatadah mengatakan bahwa mereka itu adalah manusia secara umum.
3. (agar kamu bertakwa)
Potongan ayat ini juga mengandung dua pendapat:
a. agar kamu bertakwa dari apa yang diharamkan dalam berpuasa seperti makan, minum, berhubungan intim dengan isteri. Pendapat ini dipegang oleh Abu Ja'far at-Thabari.
b. maknanya adalah puasa itu menjadi sebab yang mengembalikan kita pada takwa dengan jalan menundukkan jiwa, mengurangi nafsu dan menghilangkan kejelekan. Ini pendapat yang dikeluarkan oleh az-Zujaj.
Potongan ayat ini juga mengandung dua pendapat:
a. agar kamu bertakwa dari apa yang diharamkan dalam berpuasa seperti makan, minum, berhubungan intim dengan isteri. Pendapat ini dipegang oleh Abu Ja'far at-Thabari.
b. maknanya adalah puasa itu menjadi sebab yang mengembalikan kita pada takwa dengan jalan menundukkan jiwa, mengurangi nafsu dan menghilangkan kejelekan. Ini pendapat yang dikeluarkan oleh az-Zujaj.
DAFTAR
PUSTAKA
Al- baghawi, Abu
Muhammad al-Hasan bin Mas`ud. Mualim at-Tanzil.
(Dar-at-Tayyibah,1997.Juz 8.cetakan ke-4.
Al- baidhowi,
Nashir al-Din Abu Said `Abdullah bin Umar bin Muhammad as-Sairazi. Anwar
At-tanzil wa asr Ar at-ta`wi Al-ma`ruf. Mawaqi` at-Tafasir
http://ngajiislam.com/2009/09/tafsir-ayat-puasa.html#sthash.avwgMu44.dpuf, Diakses pada hari jum’at, tanggal 28 juni 2013,
pada pukul 19:12 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar