MAKALAH
FIQH
SYIRKAH
( KERJA SAMA)
DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK
: 9
1.
ASIA ASTUTI (12222013)
2. DESTIANAH
3. FITRI ASTRIAWATI (12222038)
Dosen pembimbing :
Sofyan, S.ag, M.hi
KEMENTRIAN
AGAMA ISLAM REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, manusia tidak akan terlepas dari
hubungan terhadap sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak
mungkin berbagai kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Terkait hal ini maka perlu
diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara mengadakan akad syirkah dengan pihak lain. Syirkah hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi Shalallahu
alaihiwasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat
beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada
saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam
membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa
Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang
ber-syirkah selama salah satunyatidak
mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar darikeduanya.
[HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
1.2 Rumusan
Masalah
Apa
pengertian, hukum, rukun, dan macam-macam syirkah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika
(fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), syarikan/syirkatan/syarikatan
(mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus
Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga
dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah
berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat
lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990:
146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua
pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
B.
Hukum Dan Rukun
Syirkah
a.
Hukum syirkah
1.
Al-Qur’an:
Firman Allah
Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu
sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah
mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan
firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS.
An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di
atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam
kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi
secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas
dasar akad (transaksi).
2. Hadits:
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman:
“Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak
mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari
keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
3. Ijma’:
Ibnu Qudamah
berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi syirkah
secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen
darinya.” (Al-Mughni V/109).
b.
Rukun syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. dua
pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
3. obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd
‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal)
dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath,
1982: 76; 1989: 13).
Adapun
syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1.
obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan
melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
2.
obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah
menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani,
1990: 146).
C. Macam-Macam
Syirkah
Syirkah ada dua jenis:
1.
Syirkah
Amlaak (Hak Milik)
Yaitu
penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang
berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui
transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah
seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia
tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. (Taudhihul Ahkam,
Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Misalnya; si A dan si B
diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya
menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari
hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
(Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/258, dan Al-Fiqhu Al-Islami wa
Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/794).
2.
Syirkah
Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad
kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan,
misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti
inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah
seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah
dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik
barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang
yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-macam Syirkah Uquud
(Transaksional/kontrak)
Berdasarkan
penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di
dalam Islam terdapat lima macam syarikah: yaitu:
1. Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal)
dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil
as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah
inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis
properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam
syirkah tersebut. Dalam syirkah ini,
disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd), sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi
modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing
menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam
kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata,
"Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah)." (An-Nabhani,
1990: 151).
2. Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi
kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja
itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun
kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu,
nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini
disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath,
1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut
bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual,
hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar
40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan
kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah
‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun,
disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani,
1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu
sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan
yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh
juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan
hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu
Mas’ud ra. pernah berkata, "Aku pernah berserikat dengan Ammar bin
Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang
Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa
apa pun." [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya
dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
3. Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak
memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan
konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah
dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri,
1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib
al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B
yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam
usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong). Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah.
Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan
konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi
kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini
masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh)
berdasarkan dalil as-Sunnah (taqrîr Nabi Saw) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani,
1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah
menjadi hak pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak
turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika
ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola
modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah
berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak
menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani,
1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian
itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang
ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah
al-Islâmiyyah, 2/66).
4. Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut
juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di
tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak
(misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal),
dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl).
Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990:
154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli
secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa
konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154).
Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah
wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara
kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli.
Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan
harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang
dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154). Hukum
kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya
termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah
‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah
jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa
ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah
kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di
masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur,
atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah
wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah)
yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani,
1990: 155-156).
5. Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua
jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah,
dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25).
Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani
adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka
sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani,
1990: 156). Keuntungan yang diperoleh dibagi
sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa
syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh). Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan
C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal,
untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan
C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah
‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan
memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan
C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini
A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat
bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti
terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah
seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah
mufâwadhah.
Menurut ulama
Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdân,
mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya
tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan
mudhârabah. Sedangkan menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah
bila memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan. (Al-Fiqh al-Islâmî
wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili, IV/795).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât
fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah
ar-Risalah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî
al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
Sahrani, Sohari dan Ru’fah Abdullah.
2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar