MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM
Studi
Pemikiran Islam Kalam, Tasawuf, Filsafat, dan Fiqh

Di
Susun Oleh :
Kelompok
3
1. Ahmad
Syaifudin (12222005)
2. Ari
Muhamad Isbilly (12222011)
3. Asia
Astuti (12222013)
4. Dwi
Ervi Agustina (12222029)
5. Fitri
Astriawati (12222038)
Dosen pembimbing
:
Endang Rochmiatun, M.Hum
JURUSAN TADRIS BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN FATAH PALEMBANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi-studi agama
dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan
dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama sebelum
abad ke-19 memiliki beberapa karakteristik yang antara lain, sinkritisme,
penemuan arca baru, dan untuk kepentingan misionari dipicu oleh semangat dan
ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi islam
mengalami perubahan.
Adapun studi islam
sendiri merupakan ilmu keislaman mendasar. Dengan studi ini, pemeluknya
mengetahui dan menetapkan ukuran ilmu, iman dan amal perbuatan kepada allah
swt. Diketahui pula bahwa islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi
yaitu mulai dari dimensi keimanan, akal fikiran, politik ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi lingkungan hidup, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Untuk memahami berbagai dimensi ajaran islam tersebut jelas memerlukan berbagai
pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu. Selama ini islam banyak
dipahami dari segi teologis dan normative.
Untuk itu kita perlu mempelajari studi pemikiran islam yang di lihat dari
ilmu kalam, filsafat, tasawuh dan ilmu fiqih agar lebih memahami ajaran islam,
dan lebih mandekatkan diri kepada Allah SWT secara tulus tanpa paksaan dari
pihak manapun dan dapat menjaikan kita sebagai muslim yang benar-benar
berkualitas.
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimanakah studi pemikiran
islam berdasarkan ilmu kalam, filsafat, tasawuf dan ilmu fiqh ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Studi
Pemikiran Islam Kalam
a.
Definisi Ilmu Kalam
Ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan
tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat
Tuhan yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya
dan sifat yang mungkin ada pada-Nya dan membicarakan tentang rasul-rasul
Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada
padanya dan sifat-sifat yang mungkin terdapat padanya.
Ahmad
Hanafi (1996 : 5), berpendapat bahwa ilmu kalam juga dinamakan
ilmu aqaid atau ilmu Ushulludin. Hal ini dapat dimengerti, karena persoalan
kepercayaan yang menjadi pokok ajaran agama itulah yang menjadi pokok pembicaraannya.
Ilmu
kalam berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan iman dengan
menggunakan dalil-dalil fikiran dari kepercayaan-kepercayaan yang diyakininya.
Ilmu ini dinamakan ilmu kalam, karena :
1. Persoalan
yang menjadi pembicaraan abad-abad permulaan hijrah ialah “firman Tuhan” (kalam
Allah) dan non azalinya Qur’an. Karena itu keseluruhan isi ilmu kalam dinamai
dengan salah sau bagiannya yang terpenting.
2.
Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil-dalil ini
nampak jelas dalam pembicaraan para mutakalamin. Mereka jarang-jarang kembali
kepada dalil-dalil naqli (qur’an dan hadits), keculai sesudah menetapkan
benarnya pokok persoalan lebih dahulu.
3.
Karena cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai logika dalam
filsafat, maka pembuktian dalam soal-soal agama ini dinamai ilmu kalam untuk
membedakan dengan logika dalam filsafat.
b. Aliran-aliran Ilmu
Kalam
1. Kaum Khawarij
Khawrij timbul dari kalangan pasukan Sayyinda
Ali tatkala terjadi hebat hebatnya
perang antara Ali dengan Muawiyah di Shiffin. Muawiyah merasa kewalahan dan
bermaksud melarikan diri. Kemudian timbul pemikiran tahkim. Pasukannya
mengangkat Al-Qur’an sebagai isyarat agar tahkim dengan al-Qur’an. Pihak Ali
tetap bertempur terus. Lalu ada sebagian pengikut Ali meminta kepadanya agar
mau menerima tahkim. Akhirnya Ali menerima tahkim dengan rasa terpaksa. Kemudian
diperoleh kesepakatan masing-masing mengangkat seorang hakim. Mu’awiyah memilih Amr ibn al-Ash. Semula Ali
sendiri bermaksud memilih Abdullah bin
Abbas, tetapi orang-orang khawarij ini menghendaki Abu Musa al-Asy’ari. Tahkim
bermaksud dengan berkesudahan turunnya Sayyidina Ali dari khalifah dan tetapnya Mu’awiyah, yang berarti
kemenangan baginya.
Melihat kejadian ini, orang-orang khawarij yang semula menyetujui adanya tahkim, mereka beralih pendirian, merasa dikecewakan sekali. Tahkim dianggap sebagai dosa besar, bukan mencari penyelesaian ummat. Karena itu mereka meminta kepada Sayyidina Ali agar segera bertaubat dari dosa besar ini. Dia menjadi kafir karena menerima tahkim, sebagaimana orang-orang khawarij sendiri juga menjadi kafir, hanya saja mereka segera bertaubat. Sampai sekarang, Khawarij masih terdapat di Tropoli Barat, Al-Jazair, Pulau Zanzibar Oman di Jazirah Arab, dengan jumlah seluruhnya hanya sekitar 25.000 orang saja. Harun Nasution (1986 : 22) berpendapat bahwa pada mulanya kaum khawarij merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketia itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Melihat kejadian ini, orang-orang khawarij yang semula menyetujui adanya tahkim, mereka beralih pendirian, merasa dikecewakan sekali. Tahkim dianggap sebagai dosa besar, bukan mencari penyelesaian ummat. Karena itu mereka meminta kepada Sayyidina Ali agar segera bertaubat dari dosa besar ini. Dia menjadi kafir karena menerima tahkim, sebagaimana orang-orang khawarij sendiri juga menjadi kafir, hanya saja mereka segera bertaubat. Sampai sekarang, Khawarij masih terdapat di Tropoli Barat, Al-Jazair, Pulau Zanzibar Oman di Jazirah Arab, dengan jumlah seluruhnya hanya sekitar 25.000 orang saja. Harun Nasution (1986 : 22) berpendapat bahwa pada mulanya kaum khawarij merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketia itu dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Ajaran-ajaran pokok Khawarij adalah
khilafah, dosa dan iman. Apabila firqah Syi’ah berpendapat bahwa khilafah itu
bersifat waratsah, yaitu warisan turun-temurun, dan demikian pula yang terjadi
kemudian khilafah-khilafah bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah, maka berbeda sama
sekali pendirian Khawarij ini tentang khilafah. Mereka menghendaki kedudukan
khalifah dipilih secara demokratis melalui pemilihan bebas.
2. Kaum Murjiah
2. Kaum Murjiah
Murji’ah berasal dari bahasa Arab أرجى يرجى
ارجا yang berarti menunda ; atau dari kata رجا يرجو رجاء yang berarti
mengharapkan. Murjiah adalah bentuk isim fail dari kata tersebut diatas,
berarti orang yang menunda atau orang yang mengharapkan. Dalam arti yang
pertama dimaksudkan berarti golongan atau faham yang menanggungkan keputusan
sesuatu hal (mulanya, persoalan orang yang berbuat dosa besar) nanti dikelak
kemudian hari disisi Allah. Sedang pengertian dalam arti yang kedua, dimaksud dengan
Murjiah ialah golongan yang mengharapkan ampunan dari Tuhan atas kesalahan dan
dosanya (asal persoalannya adalah orang mukmin yang berbuat dosa besar, mati
sebelum ia bertobat).
Golongan Murjiah, sebagaimana halnya
golongan Khawarij, juga lahir karena didahului oleh persoalan politik, yaitu
persoalan imamah yang berakibat terjadinya pertumpahan darah, sehingga timbul
persoalan bagaimana hukum yang berbuat dosa besar karena membunuh orang tanpa
sebab yang dibenarkan. Apakah ia masih tetap mukmin atau sudah menjadi kafir
sebagaimana pendapat golongan Khawarij, jika ia mati belum berbuat tobat.
Golongan Murjiah tidak ingin menetapkan
hukumnya menjadi kafir, tetapi menangguhkan putusannya di akhirat nanti disisi
Tuhan, dan mengharapkan rahmat dan ampunannya.
Persoalannya semula adalah orang-orang
Khawarij menganggap Ali telah berdosa besar dan menjadi kafir, demikian pula
Usman, tidak demikian halnya dengan Abu Bakar dan Umar.
Sebaliknya, pengikut-pengikut yang setia
kepada Ali, mereka menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman telah merampas jabatan
Khalifah yang menurut pandanfan mereka seharusnya jabatan itu diduduki oleh
Ali.
Tampaknya golongan Murjiah tidak ingin melibatkan diri dalam soal kafir mengkafirkan ini, melainkan menyerahkan saja urusan itu kepada Allah. Dengan demikian, maka lahirlah golongan Murjiah.
Tampaknya golongan Murjiah tidak ingin melibatkan diri dalam soal kafir mengkafirkan ini, melainkan menyerahkan saja urusan itu kepada Allah. Dengan demikian, maka lahirlah golongan Murjiah.
3.
Golongan
Qodariyah dan Jabariyah
Golongan Qodariyah adalah golongan yang
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya ;
manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan
hidupnya ; manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Pengertian Qodariyah disini bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia itu terpaksa tunduk kepada qadar Allah. Didalam bahasa
Inggris faham Qodariyah dikenal dengan nama free will atau free act.
Sebaliknya golongan Jabariyah
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam
menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia terikat kepada mutlak Tuhan.
Jadi Qadariyah berasal dari qadar yang
berarti kemampuan atau kekuatan manusia, bukan diambil dari arti qadar atau
kepastian Tuhan. Dan Jabariyah diambil dari jabara yang berarti memaksa ; bukan
manusia memaksakan kehendak-Nya, tetapi Tuhan mamaksakan kehendak-Nya,
sebaliknya manusia berbuat atau mengerjakan sesuatu dalam keadaan terpaksa.
Kapan timbulnya faham Qadariyah ini
tidak dapat diketahui dengan pasti, tetapi menurut keterangan ahli teologi
Islam bahwa Qadariyah ditimbulkan oleh Ma’bad al-Juhani, menurut pendapat lain
bersama dengan temannya yang bernama Ghailan al-Damsyiqi, yang mengambil dari
orang kristen yang masuk Islam di Irak. Menurut al-Dzahabi Ma’bad adalah orang
Tabi’i yang baik. Ma’bad mati terbunuh dalam pertampuran melawan al-Hallaj tahun
80 H. dan Ghailan menyiarkan faham Qadariyah ini di Damaskus pada masa
pemerintahan Umar ibn Abd al-Aziz. Selain ia menyiarkan faham Qadariyah ia juga
merupakan salah seorang tokoh Murjiah al-Shalihiyyah.
4. Kaum Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai sebuah aliran teologi
memiliki akar dan produk pemikiran tersendiri. Yang dimaksud akar pemikiran di
sini adalah dasar dan pola pemikiran yang menjadi landasan pemahaman dan
pergerakan mereka. Sedangkan yang dimaksud produk pemikiran adalah
konsep-konsep yang dihasilkan dan dasar dan pola pemikiran yang mereka yakini
tersebut.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah ; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Mu’tazilah adalah kelompok yang mengadopsi faham qodariyah, yaitu faham yang mengingkari taqdir Allah ; dan menjadikan akal (rasio) sebagai satu-satunya sumber dan metodologi pemikirannya. Dari sinilah Pemikiran mu’tazilah berakar dan melahirkan berbagai kongklusi teologis yang menjadi ideologi yang mereka yakini.
Disebutkan dalam buku “al-mausu‘ah
al-muyassarah fi’ladyan wa‘lahzab al-mu’ashirah” bahwa pada awalnya sekte
Mu’tazilah ini mengusung dua pemikiran yang menyimpang (mubtadi ), yaitu:
1. Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan - mu’min dan kafir—(manzilatun baina ‘lmanzilataini)
1. Pemikiran bahwa manusia punya kekuasaan mutlak dalam memilih apa yang mereka kerjakan dan mereka sendirilah yang menciptakan pekerjaan tersebut.
2. Pemikiran bahwa pelaku dosa besar bukanlah orang mu’min tetapi bukan pula orang kafir, melainkan orang fasik yang berkedudukan diantara dua kedudukan - mu’min dan kafir—(manzilatun baina ‘lmanzilataini)
Dari dua pemikiran yang menyimpang ini
kemudian berkembang dan melahirkan pemikiran-pemikiran turunan seiring dengan
perkembangan Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran.
Sejalan dengan keberagaman akal manusia
dalam berfikir maka pemikiran yang dihasilkan oleh sekte Mu’tazilah ini pun
sama beragamnya. Tidak hanya beragam akan tetapi melahirkan sub-sub sekte yang
tidak sedikit jumlahnya. Setiap sub sekte memiliki corak pemikiran tersendiri
yang ditentukan oleh corak pemikiran pimpinan sub sekte tersebut.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrian di kota Basrah pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama (Hanafi, Ahmad, 1996 : 39).
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad kedua hijrian di kota Basrah pusat ilmu dan peradaban Islam kala itu, tempat perpaduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama (Hanafi, Ahmad, 1996 : 39).
Dalam bukunya, “al-farqu baina ‘lfiroq”,
Al-Baghdadi menyebutkan bahwa sekte Mu’tazilah terbagi menjadi 20 sub sekte.
Keduapuluh sub sekte ini disebutnya sebagai Qodariyah Mahdhah. Selain duapuluh
sub sekte tersebut masih ada lagi dua sub sekte Mu’tazilah yang oleh
al-Baghdadi digolongkan sebagai sekte yang sudah melampaui batas dalam
kekafiran, kedua sekte tersebut adalah ; al-Khabithiyah dan al-Himariyyah.
Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dan duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
Namun, meskipun sudah terbagi dalam lebih dan duapuluh sub sekte mereka masih memiliki kesatuan pandangan dalam beberapa pemikiran. Hal tersebut ditegaskan Al-Baghdadi dengan menyebutkan enam pemikiran yang mereka sepakati, pemikiran-pemikiran tersebut adalah:
Pemikiran bahwa Allah tidak memiliki
sifat azali, dan pemikiran bahwa Allah tidak memiliki ‘ilmu, qudrah, hayat,
sama’, bashar, dan seluruh sifat azali.
Pemikiran tentang kemustahilan melihat
Allah dengan mata kepala dan keyakinan mereka bahwa Allah sendiri tidak bisa
melihat “Diri”-Nya dan yang lain pun tidak bisa melihat “Diri”-Nya.
Pemikiran tentang ke-baru-an (hadis)
kalamu’llah dan ke-baru-an perintah, larangan dan khabar-Nya. Yang kemudian
kebanyakan mereka mengatakan bahwa kalamu’llah adalah makhluk.
Pemikiran bahwa Allah bukan pencipta
perbuatan manusia bukan pula pencipta perilaku hewan. Keyakinan mereka bahwa
manusia sendirilah yang memiliki kemampuan (qudrah) atas perbuatannya sendiri
dan Allah tidak memiliki peran sedikitpun dalam seluruh perbuatan manusia juga
seluruh perilaku hewan. Inilah alasan Mu’tazilah disebut Qodariyah oleh
sebagian kaum muslimin.
Pemikiran bahwa orang muslim yang fasiq
berada dalam satu manzilah diantara dua manzilah – mu’min dan kafir – (manzilah
baina’lmanzinlatain). Inilah alasan mereka disebut Mu’tazilah.
Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia tidak diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki. Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran, seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
Pemikiran bahwa segala sesuatu perbuatan manusia tidak diperintahkan oleh Allah atau dilarang-Nya adalah sesuatu yang pada dasarnya tidak Allah kehendaki. Inilah sebagian produk pokok pemikiran Mu’tazilah yang cukup mewakili identitas Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran, seluruh pemikiran Mu’tazilah adalah produk dari kekuatan mereka berpegang teguh pada akal rasional. Sehingga sekte ini adalah sekte yang paling menguasai ilmu kalam.
2.
Studi
Pemikiran Islam Tasawuf
a. Definisi
Tasawuf
Tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana
seseorang atau bagaimana cara kita mendekatkan diri kepada tuhan, tanpa adanya
paksaan yang dating dari luar maupun dari dalam diri sendiri, sehingga
seseorang tersebut merasa sangat dekat dengan tuhannya, tidak ada hal lain yang
lebih berharga dibandingkan menghambakan diri pada tuhan. seperti halnya
kehidupan para sufi.
Metode penelitian tasawuf, mempergunakan metode
penelitian ilmu-ilmu sosial, terutama analisis kesejarahan dan pendekatan
phenomenology (verstehen). Penelitian yang menggunakan pendekatan phenomenology
atau verstehen harus mengerti dengan keadaan objek.
b. Tujuan
dan Karakteristik Tasawwuf
Tujuan tasawuf bukanlah ubntuk mendapatlkan
pengetahuan intuitif tentang kenyataan, tetapi untuk menjadi abdi Allah. Karakter
tasawuf menurut Al-Tafzani ada lima, yaitu:
- Peningkatan moral
- Pemenuhan fana dalam realistis mutlak
- Pengetahuan intuitif langsung
- Timbulnua rasa kebahagian karena karunia Tuhan
- Penggunaan
simbol-simbol dalam pengungkapan perasaan yang mengandung pengertian harfiah
maupun tersirat
c. Model-model
Penelitian Tasawwuf
1. Model Sayyed
Husain Nasr
Penelitian
kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan studi kritis terhadap
ajaran tasawuf.
2.
Model Mustafa Zahri
Bersifat
eksploratif yang menekan pada taswuf berdasarkan literature yang ditulis oleh
para Ulama terdahuludengan mencari sandaran kepada Al-quran dan Hadits.
3.
Model Kautsar Azhari Noor
Studi tentang
tokoh dengan pahamnya yang khas.
4.
Model Harun Nasution
Penelitian menggunakan pendekatan
tematik yang bersifat deskriptif.
5.
Model A.J. Arberry
Penelitian
yang menggunakan pendektan kombinasi antara pendekatan tematik dengan
pendekatan tokoh.
3. Studi Pemikiran Islam Filsafat
a. Definisi
Filsafat
Filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika)
dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan sebagainya) dan dengan
sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar sebuah persoalan. Filsafat
merupakan hasil kekuatan akal manusia untuk memahami hakikat Tuhan, alam dan
manuisa. Filsafat Islam pada dasarnya merupakan medan pemikiran yang terus
berkembang dan berubah.
Sebagai suatu ilmu, filsafat merupakan ilmu yang
menjawab persoalan-persoalan yang belum atau tidak dapat dijawab oleh ilmu
pengetahuan biasa.
b. Cabang-cabang
Filsafat
1. Metafisika
Filsafat tentang hakikat yang ada dibalik fisika dan
alam semesta yang berada diluar atau diatas pengalaman manusia.
2. Logika
Filsafat mengenai pikiran yang benar dan salah.
3. Etika
Filsafat mengenai tingkah laku yang baik dan buruk.
4. Estetika
Filsafat mengenai karya atau kreasi yang indah dan
jelek.
5. Epistemologi
Filsafat mengenai ilmu pengetahuan.
c.Model-model
Penelitian Filsafat Islam
1. Model M. Amin Abdullah
Penelitian yang menggunakan metode penelitian
kepustakaan yang bercorak deskriptif, serta mengambil pendekatan studi tokoh
dengan cara melakukan studi komparasi.
2. Model Otto Horrassowitz, Majid Fakhary dan Harun
Nasution
Penelitian yang termasuk penelitian kualitatif dengan
sumber kajian pustaka serta menggunakam metode deskriptif analitis, dan
menggunakan pendekatan historis dan tokoh.
3. Model Ahmad Fuad Al-Ahwani
Penelitian kepustakaan yang bersifat penelitian
deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan yang bersifat campuran antara
pendekatan historis, kawasan dan tokoh.
4. Studi Pemikiran Islam Fiqh
a. Definisi Ilmu Fiqh
Ilmu fikih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum
syari’at Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci. Fikih juga terkait langsung dengan kehidupan manusia. Kita akan
selalu memiliki hubungan dengan fikih sejak kita lahir sampai meninggal.
Contohnya, segala amal yang berhubungan dengan ibadah, mu’amalat, kepidanaan,
dan sebagainya. Ilmu Fikih memiliki dalil-dalil terperinci yang merupakan
satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjukkan kepada suatu hukum
tertentu.
Fikih sebagai produk pemikiran, adalah produk hukum
yang diputuskan oleh Mujtahid. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka munculah
penelitian dan pengembangan hukum Islam, untuk menguji dan menyelidik hukum
agar sesuai dengan tuntutan zaman guna mengatasi setiap permasalahan yang
timbul di dalam pemikiran umat.
b. Model-model Penelitian
Hukum Islam
1. Model Harun Nasution
Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur
Hukum Islam secara konprehensif. Melalui pendekatan sejarah beliau membagi
perkembangan hukum Islam ke dalam 4 periode, yaitu periode Nabi, periode
sahabat, periode ijtihad serta kemajuan dan periode taklid serta kemunduran. Dengan
demikian model penelitian yang digunakan Harun Nasution adalah penelitian
eksploratif, deskriptif, dengan menggunakan pendekatan kesejarahan.
2. Model
Noel J. Coulson
Dalam penelitiannya Coulson menggunakan pendekatan
historis. Melalui penelitiannya hukum Islam ditempatkan sebagai perangkat norma
dari perilaku teratur dan merupakan suatu lembaga sosial dengan memenuhi
kebutuhan manusia akan kedamaian dalam masyarakat.
3. Model
Mohammad Atho Mudzhar
Atho Mudzhar melakukan penelitian hukum Islam
menggunakan penelitian uji teori atau uji asumsi (hipotesis) yang berlandaskan
kepada teori yang terdapat dalam ilmu sosiologi hukum. Permasalahan hukum yang
terdapat dalam lingkungan sosial sering berkaitan dengan kehidupan sosial,
ekonomi, kriminalitas, masalah perkawinan, dan masalah sosial lainnya.
c. Objek
Penelitian Fikih
Objek dan ruang lingkup fikih adalah perbuatan
orang-orang mukallaf tentang orang-orang yang dibebani ketetapan-ketetapan hukum
agama Islam. Menurut Ta’rif ahli ilmu ushul yang dibicarakan oleh fikih
adalah segala pekerjaan para mukallaf dari jurusan hukum hidup. Adapun hasil
pembicaraan atau mahmulnya adalah salah satu hukum yang lima, yaitu hukum
ta’rif yang lima: Ijab (wajib), Nadab (anjuran/sunnah), Tahrim (haram), Karahah
(makruh), dan Ibahah (mubah) Dengan demikian, ruang lingkup penelitian fikih
aadalah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang
ketentuan hukumnya.
d. Metodologi
Penelitian Hukum Islam
1. Metode
Normatif Islami
Objek penelitian disini adalah asas-asas, doktrin,
konsep, sistematika dan substansi hukum Islam yang bersumber pada Al-quran dan
Sunnah baik menurut klasik maupun kontenporer.
2. Metode
Empiris Islami
a. Sosiologi
Objek penelitian mengenai bagaimana implementasi
syari’ah dalam masyarakat Islam. Peneliti harus menghindari sikap prasangka
negatif. Dalam penelitian ini yang ditampilkan bukan segi-segi yang bersifat
konflik antara hukum Islam dengan masyarakat, melainkan sgi-segi positifnya.
b. Historis
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dapat
dijadikan objek penelitian.
3. Metode
Filosofi Islam
Hukum Islam sebagai jalinan nilai-nilai Islami
diteliti secara falsafi (filosofis).
4. Metode Komparatif
Islami
Penelitian ini menggunakan metode perbandingan hukum
Islam sebagai tolak ukur. Perbandingan hukum dapat diteliti secara internal
antara aliran-aliran hukum Islam (perbandingan mazhab).
5. Metode
Interpretatif Islami
Dalam penelitian ini peran ijtihad dan kedudukannya
sebagai sumber hukum Islam sangat penting diperhatikan.
6. Metode
Pembukuan Garis Hukum
Suatu ayat hukum dalam Al-quran dipecah menjadi
beberapa garis hukum yang dirumuskan masing-masing secara alfabetis, dengan
cara ini orang dengan mudah dapat mempelajari pembahasan ilmu hukum Islam yang
ingin diteliti.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Studi pemikiran islam dibagi menjadi empat yairu studi pemikiran islam
kalam, studi pemikiran islam filsafat, studi pemikiran islam tasawuf, dan studi
pemikiran fiqh. Ilmu kalam ialah ilmu
yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat
Tuhan yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak ada pada-Nya
dan sifat yang mungkin ada pada-Nya. Tasawuf adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang atau
bagaimana cara kita mendekatkan diri kepada tuhan. Filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika)
dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan sebagainya) dan dengan
sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar sebuah persoalan. Sedangkan Ilmu fikih merupakan pengetahuan tentang hukum-hukum
syari’at Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim,
Rosniati, 2009. Metodologi Studi Islam II. Padang: Hayfa Press
Nata, Abuddin, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nata,
Abuddin, 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Hanafi, Ahmad. 1996. Theology Islam :
Ilmu Kalam. Cet II. Jakarta : Bulan Bintang.
Judul makalah MSI Studi Pemikiran Islam ini sangat relevan dan menarik, terutama dengan pembahasan yang mencakup berbagai cabang keilmuan dalam Islam seperti Kalam, Tasawuf, Filsafat, dan Fiqh. Topik ini penting untuk memperdalam pemahaman kita tentang bagaimana Islam sebagai sistem pemikiran berkembang melalui berbagai metodologi studi, sehingga dapat memberikan perspektif yang lebih kaya dalam memahami esensi ajaran dan budaya Islam.
BalasHapusApakah Anda membutuhkan proyektor berkualitas untuk presentasi atau acara Anda? Kami menawarkan layanan sewa proyektor terbaik pekanbaru dengan harga terjangkau di Pekanbaru.